Selasa, 12 November 2013

Feature-Sang Fotografer yang Tergerus Teknologi


Teknologi merupakan sesuatu hal yang hampir tak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat modern. Ia adalah cermin perubahan, ia juga adalah buah dari perkembangan zaman. Lewatnyalah sebagian orang memperoleh kesejahteraan. namun lewatnya juga sebagian lainnya merasa terlupakan.

Ialah Hotman, lelaki perantauan berusia 41 tahun yang menggantungkan seluruh hidup dan harapannya dibalik lensa kamera selama hampir 10 tahun. Berpayung sinar matahari dan berteman debu ia mengais
rupiah demi rupiah dalam berbagai pose gaya.

Pagi-pagi benar Hotman sudah bersiap memulai rutinitasnya. Sesudah azan subuh menggema ia bergegas pergi dari Depok menuju Jakarta dengan sebuah sepeda motor butut untuk memulai pekerjaannya.

Setiap hari itulah kegiatan yang ia lakukan untuk memenuhi tuntutan ekonomi serta agar dapat bertahan ditengah kerasnya kehidupan ibukota
Monumen Nasional menjadi satu-satunya sumber rezeki bagi Hotman, bermodal 1 buah kamera dan mesin print berukuran kecil, ia mulai menawarkan jasanya bagi tiap pengunjung. Sinar matahari yang begitu terik dan panasnya cuaca siang  sama sekali tak menyurutkan semangat Hotman.
Dengan sabar dan teliti ia mulai berkarya lewat lensanya, memberi arahan dan petunjuk lewat kata-kata laksana seorang fotografer profesional, keringat yang membasahi tubuh dan wajahnya justru semakin membuat lelaki berkacamata ini semakin giat bekerja. Keramahan serta keuletannya berbuah manis, banyak pengunjung tertarik dan mulai bergaya seperti model dibawah asuhan Hotman.

Lelaki inipun sempat bercerita, perantauannya dari Medan menuju Jakarta belasan tahun silam membawa banyak harapan, keinginan  terbesar adalah untuk memperbaiki masalah ekonomi, namun siapa sangka nasib kemudian membawanya menjadi fotografer keliling yang berlokasi di Monas

Perkenalannya dengan dunia fotografi terbilang diluar dugaan, semata-mata untuk memenuhi tuntutan perut agar tercukupi. 10 tahun lalu Hotman melihat adanya peluang mengais rezeki dibidang fotografi, iapun kemudian masuk dalam paguyuban fotografer di Monumen Nasional

Bersama 32 orang lain dari berbagai daerah, hotman tekun dan serius mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya, setiap hari mereka siap sedia berdiri dibawah teriknya siraman matahari siang untuk menghasilkan foto yang diinginkan pengunjung
Setiap harinya, Hotman dapat menghasilkan belasan foto, setiap foto dihargai RP.15.000. jika diakhir pekan penghasilannyapun meningkat, tak jarang ia dapat mencetak puluhan foto, namun jika nasib sedang tak berpihak iapun tak bisa berbuat banyak ketika foto yang dihasilkan tak mencapai 10 lembar.
Hambatan utama bagi Hotman dan paguyubannya adalah ketika hujan turun. Mereka terpaksa berhenti bekerja karena Kamera dan mesin print yang mereka gunakan tidak boleh terkena air, belum lagi cuaca mendung yang tidak mendukung pencahayaan gambar.
Meski terbilang cukup sulit, Hotmanpun mengutarakan asyiknya menekuni profesi sebagai fotografer keliling, mulai dari berkenalan dengan banyak orang hingga rasa puas dan bahagia yang tidak tertandingi kala melihat pengunjung yang difotonya tertawa senang.

Pundi-pundi rupiahpun dapat sedikit demi sedikit ia kumpulkan, selain untuk kebutuhan pangan keluarga, lelaki berdarah Batak inipun mempunyai keinginan untuk menyekolahkan dua buah hatinya.
Matahari siang di monumen nasional begitu terik memancar, seakan mendukung hotman untuk terus bekerja dan berkarya lewat lensanya, rombongan orang-orang dari daerahpun datang kepada hotman untuk berfoto. Dengan antusias lelaki inipun mulai mengotak-atik Kamera dan berceloteh ria.

Dibalik senyuman dan tawa cerianya,  sebenarnya ada sebuah kekuatiran mengusik pikiran Hotman, sejak 9 tahun lalu penghasilan yang ia peroleh sebagai tukang foto keliling di Monas semakin menurun.
Kecenderungan masyarakat dalam menggunakan berbagai teknologi canggih membuat Hotman dan paguyubannya mulai tersisihkan
Dengan wajah sedih. Ia bertutur tentang kekuatirannya itu, berbagai teknologi masa kini yang menawarkan kecanggihan dan kepraktisan justru berdampak negatif bagi kelanjutan pekerjaan dan masa depannya.
“mereka lebih suka pakai kamera sendiri, kalau ditawarin gak mau” ucapnya sambil melihat kearah kamera yang ia genggam, gurat-gurat kekuatiran dan kekecewaan itu nampak jelas diwajah tuanya yang terbakar matahari.
Sebagai manusia biasa, Hotman diliputi kecemasan, namun iapun tak bisa melakukan apa-apa untuk melawan arus perubahan. Budaya dan kecenderungan masyarakat khususnya warga jakarta telah berganti. Namun terlalu susah baginya untuk beradaptasi.

Meski merasa terhimpit secara sosial dan ekonomi, Hotmanpun sesungguhnya menyadari bahwa fenomena semacam ini suatu saat pasti berlangsung. Satu-satunya harapan besar muncul saat rombongan dari luar kota tiba. Meski begitu sampai saat ini ia tetap menjalani pekerjaan yang telah menghidupinya selama 10 tahun dengan penuh sukacita, lelaki ini berprinsip tak akan berhenti sekalipun teknologi mulai merampas keping-keping penghasilannya.

Diawal pekerjaannya, teknologi mampu memberikan hotman penghasilan dengan menawarkan sistem kamera digital sederhana dan mesin print otomatis, namun ketika waktu semakin berjalan, teknologi juga yang justru menyebabkan ia dan pekerjaannya terancam dengan berbagai konten teknologi yang lebih modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar