Teknologi merupakan sesuatu hal yang
hampir tak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat modern. Ia adalah
cermin perubahan, ia juga adalah buah dari perkembangan zaman. Lewatnyalah sebagian
orang memperoleh kesejahteraan. namun lewatnya juga sebagian lainnya merasa
terlupakan.
Ialah
Hotman, lelaki perantauan berusia 41 tahun yang menggantungkan seluruh hidup
dan harapannya dibalik lensa kamera selama hampir 10 tahun. Berpayung sinar
matahari dan berteman debu ia mengais
rupiah
demi rupiah dalam berbagai pose gaya.
Pagi-pagi
benar Hotman sudah bersiap memulai rutinitasnya. Sesudah azan subuh menggema ia
bergegas pergi dari Depok menuju Jakarta dengan sebuah sepeda motor butut untuk
memulai pekerjaannya.
Setiap
hari itulah kegiatan yang ia lakukan untuk memenuhi tuntutan ekonomi serta agar
dapat bertahan ditengah kerasnya kehidupan ibukota
Monumen
Nasional menjadi satu-satunya sumber rezeki bagi Hotman, bermodal 1 buah kamera
dan mesin print berukuran kecil, ia
mulai menawarkan jasanya bagi tiap pengunjung. Sinar matahari yang begitu terik
dan panasnya cuaca siang sama sekali tak
menyurutkan semangat Hotman.
Dengan
sabar dan teliti ia mulai berkarya lewat lensanya, memberi arahan dan petunjuk
lewat kata-kata laksana seorang fotografer profesional, keringat yang membasahi
tubuh dan wajahnya justru semakin membuat lelaki berkacamata ini semakin giat
bekerja. Keramahan serta keuletannya berbuah manis, banyak pengunjung tertarik
dan mulai bergaya seperti model dibawah asuhan Hotman.
Lelaki
inipun sempat bercerita, perantauannya dari Medan menuju Jakarta belasan tahun
silam membawa banyak harapan, keinginan terbesar adalah untuk memperbaiki masalah
ekonomi, namun siapa sangka nasib kemudian membawanya menjadi fotografer
keliling yang berlokasi di Monas
Perkenalannya
dengan dunia fotografi terbilang diluar dugaan, semata-mata untuk memenuhi
tuntutan perut agar tercukupi. 10 tahun lalu Hotman melihat adanya peluang
mengais rezeki dibidang fotografi, iapun kemudian masuk dalam paguyuban
fotografer di Monumen Nasional
Bersama
32 orang lain dari berbagai daerah, hotman tekun dan serius mengerjakan tugas
dan tanggungjawabnya, setiap hari mereka siap sedia berdiri dibawah teriknya
siraman matahari siang untuk menghasilkan foto yang diinginkan pengunjung
Setiap
harinya, Hotman dapat menghasilkan belasan foto, setiap foto dihargai RP.15.000.
jika diakhir pekan penghasilannyapun meningkat, tak jarang ia dapat mencetak
puluhan foto, namun jika nasib sedang tak berpihak iapun tak bisa berbuat
banyak ketika foto yang dihasilkan tak mencapai 10 lembar.
Hambatan
utama bagi Hotman dan paguyubannya adalah ketika hujan turun. Mereka terpaksa
berhenti bekerja karena Kamera dan mesin print
yang mereka gunakan tidak boleh terkena air, belum lagi cuaca mendung yang
tidak mendukung pencahayaan gambar.
Meski
terbilang cukup sulit, Hotmanpun mengutarakan asyiknya menekuni profesi sebagai
fotografer keliling, mulai dari berkenalan dengan banyak orang hingga rasa puas
dan bahagia yang tidak tertandingi kala melihat pengunjung yang difotonya
tertawa senang.
Pundi-pundi
rupiahpun dapat sedikit demi sedikit ia kumpulkan, selain untuk kebutuhan
pangan keluarga, lelaki berdarah Batak inipun mempunyai keinginan untuk
menyekolahkan dua buah hatinya.
Matahari
siang di monumen nasional begitu terik memancar, seakan mendukung hotman untuk
terus bekerja dan berkarya lewat lensanya, rombongan orang-orang dari daerahpun
datang kepada hotman untuk berfoto. Dengan antusias lelaki inipun mulai
mengotak-atik Kamera dan berceloteh ria.
Dibalik
senyuman dan tawa cerianya, sebenarnya
ada sebuah kekuatiran mengusik pikiran Hotman, sejak 9 tahun lalu penghasilan
yang ia peroleh sebagai tukang foto keliling di Monas semakin menurun.
Kecenderungan
masyarakat dalam menggunakan berbagai teknologi canggih membuat Hotman dan
paguyubannya mulai tersisihkan
Dengan
wajah sedih. Ia bertutur tentang kekuatirannya itu, berbagai teknologi masa
kini yang menawarkan kecanggihan dan kepraktisan justru berdampak negatif bagi
kelanjutan pekerjaan dan masa depannya.
“mereka
lebih suka pakai kamera sendiri, kalau ditawarin gak mau” ucapnya sambil
melihat kearah kamera yang ia genggam, gurat-gurat kekuatiran dan kekecewaan
itu nampak jelas diwajah tuanya yang terbakar matahari.
Sebagai
manusia biasa, Hotman diliputi kecemasan, namun iapun tak bisa melakukan
apa-apa untuk melawan arus perubahan. Budaya dan kecenderungan masyarakat
khususnya warga jakarta telah berganti. Namun terlalu susah baginya untuk
beradaptasi.
Meski
merasa terhimpit secara sosial dan ekonomi, Hotmanpun sesungguhnya menyadari
bahwa fenomena semacam ini suatu saat pasti berlangsung. Satu-satunya harapan
besar muncul saat rombongan dari luar kota tiba. Meski begitu sampai saat ini
ia tetap menjalani pekerjaan yang telah menghidupinya selama 10 tahun dengan
penuh sukacita, lelaki ini berprinsip tak akan berhenti sekalipun teknologi
mulai merampas keping-keping penghasilannya.
Diawal
pekerjaannya, teknologi mampu memberikan hotman penghasilan dengan menawarkan sistem
kamera digital sederhana dan mesin print
otomatis, namun ketika waktu semakin berjalan, teknologi juga yang justru
menyebabkan ia dan pekerjaannya terancam dengan berbagai konten teknologi yang
lebih modern.